*tulisan ini saya posting dari skripsi saya, yang tadi abis bimbingan, tapi bapaknya mau konsep tradisi uang japuik yang ideal, bukan hasil wawancara yg bersifat kekinian, maunya yang sudah dipublikasikan... jadi, saya publikasikan sendiri saja data yang telah saya dapat dari hasil wawancara kepada ketua Perkumpulan Keluarga Padang Pariaman (PKDP) Kota Bandar Lampung. Bapak Herman Nofri Hossen.*
Bajapuik (japuik; Jemput) adalah tradisi perkawinan yang menjadi ciri khas di
daerah pariaman. Bajapuik dipandang
sebagai kewajiban pihak keluarga perempuan memberi sejumlah uang atau benda
kepada pihak laki-laki (calon suami) sebelum akad nikah dilangsungkan. (Azwar, 2001:52)
Uang jemputan adalah uang yang
diberikan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki sebagai persyaratan dalam
perkawinan dan dikembalikan lagi pada saat mengunjungi mertua untuk pertama
kalinya. Uang jemputan ini berwujud benda yang bernilai ekonomis seperti emas
dan benda lainnya. Penentuan uang jemputan dilakukan pada saat acara maresek dan bersamaan dengan penentuan
persyaratan lainnya. Sedangkan untuk pemberian dilakukn pada saat menjemput
calon mempelai laki-laki untuk melaksanakan pernikahan di rumah kediaman
perempuan. (Maihasni, 2010:12)
Uang Japuik adalah pemberian dari keluarga
pihak perempuan kepada pihak laki-laki yang diberikan pihak perempuan pada saat
acara manjapuik marapulai dan akan dikembalikan lagi pada saat mengunjungi mertua
pada pertama kalinya (acara manjalang). Uang
Japuik ini sebagai tanda penghargaan kepada masing-masing pihak. (Azwar, 2001:53)
Berdasarkan pendapat di atas,
dapat disimpulkan, uang jemputan (Uang
Japuik) adalah sejumlah pemberian berupa uang atau benda yang bernilai
ekonomis yang diberikan pihak keluarga calon pengantin perempuan (anak daro) kepada pihak calon pengantin
laki-laki (marapulai) pada saat acara
penjemputan calon pengantin pria (manjapuik
marapulai).
a. Asal
Mula Uang Japuik
Menurut cerita, tradisi bajapuik sudah ada dari sejak dahulu,
bermula dari kedatangan Islam ke Nusantara. Mayoritas orang minang merupakan penganut agama Islam.
Sumber adat minangkabau adalah Al-Qur’an, seperti kata pepatah minang “adaik basandi syarak, syarak basandi
kitabulloh”. Jadi semua adat minang berasal dari ajaran Islam. (wawancara dengan Bapak Herman Nofri Hossen, senin,
13 Februari 2012)
Demikian pula tradisi bajapuik. Tradisi ini bersumber dari
kisah pernikahan Rasululloh SAW. Rasululloh dulunya merupakan pemuda miskin
yang bekerja dengan pedagang besar, yaitu Siti Khadijah. Karena Muhammad
memiliki sifat mulia, dan mendapat gelar al-amin
atau orang terpercaya, Siti Khadijah pun menaruh hati padanya. Akhirnya Siti
Khadijah meminta temannya untuk menanyakan pada Muhammad apakah bersedia
menjadi suami Khadijah, namun Muhammad merasa kurang enak, karena ia hanya
pemuda miskin yang tak punya apa-apa, mana mungkin dapat menikahi Siti Khadijah
yang kaya raya. Namun Siti Khadijah berniat menghormati Muhammad, ia pun
memberikan sejumlah hartanya pada muhammad agar Muhammad dapat mengangkat
derajatnya dari seorang pemuda miskin menjadi pemuda yang setara dengan Siti
Khadijah. Akhirnya Siti Khadijah dan
Muhammad pun menikah. Siti Khadijah pun setelah menikah sangat menghormati
suaminya dengan memanggil gelarnya, junjungannya.
Agama Islam masuk ke indonesia
melalui daerah Aceh. Daerah Pariaman merupakan salah satu tempat berkembangnya
agama islam, sehingga orang-orang Pariaman sangat memegang teguh agamanya.
Orang asli Pariaman, merupakan
penduduk pesisir yang bermata pencaharian nelayan, mereka hidup dari hasil
melaut di pantai pariaman. Kemudian datang lah urang rantau dari daerah bukit-tinggi Padang Panjang. Mereka
merantau dan mulai bertempat tinggal dan berocok tanam sebagai petani di
Pariaman. Kemudian, urang darek ini
ingin mengawinkan putri-putri mereka dengan orang Pariaman, namun, orang
pariaman dulu merupakan orang miskin, sehingga untuk mengangkat derajat calon
suami mereka tersebut, keluarga wanita pun menjemput dan memberikan sejumlah
harta unuk calon suaminya dengan tujuan mengangkat derajat calon suaminya tersebut.
Suami mereka pun akan dihormati di keluarga istrinya, dipanggil dengan gelar
mereka, misal sidi, bagindo atau sutan. Setelah menikah, suami tinggal di rumah istrinya, di rumah
tersebut, suami mereka dipanggil dengan hormat sesuai dengan gelarnya, tidak
boleh dipanggil dengan nama aslinya.
b.
Proses Pemberian Uang Japuik
Adat perkawinan padang pariaman, terdiri dari adat
sebelum menikah, adat perkawinan dan adat sesudah perkawinan. Dalam
adat sebelum perkawinan di padang pariaman terdiri dari maratak tanggo, mamendekkan hetongan, batimbang
tando (maminang) dan menetapkan uang
jemputan. Lalu adat perkawinan yang terdiri dari bakampuang-kampuanngan, alek
randam, malam bainai, badantam, bainduak bako, manjapuik marapulai, akad
nikah, basandiang di rumah anak daro, dan manjalang mintuo. Kemudian adat setelah perkawinan yang wajib
dilaksanakan yaitu mengantar limau,
berfitrah, mengantar perbukoan, dan
bulan lemang. uang japuik ditentukan saat sebelum perkawinan dan
diberikan saat adat perkawinan, yaitu saat manjapuik marapulai.
Ada dua pihak yang terlibat dalam adat perkawinan, yaitu
pihak marapulai (calon pengantin
laki-laki) yang terdiri atas mamak marapulai
(paman dari pihak ibu), ayah marapulai dan ibu marapulai. Sdangkan dari pihak anak
daro (calon mempelai wanita) terdiri atas mamak anak daro (paman dari pihak ibu), ayah anak daro dan saudara laki-laki anak
daro. Biasanya diantara mereka ada perantara yang mengerti adat dan pepatah
petitih bahasa minang, yaitu kapalo mudo.
Kapalo mudo marapulai dan kapalo mudo anak daro yang akan saling
bercakap-cakap dalam pepatah petitih bahasa minang, yang isinya menyampaikan
maksud keluarga tersebut.
Bila ada orang pariaman yang anak gadisnya telah siap
menikah, maka orang tuanya akan mulai mencari jodoh untuk anak mereka. Saat
mereka menemukan laki-laki yang dirasa cocok, maka keluarga perempuan akan
mengunjungi keluarga laki-laki tersebut, dinamakan marantak tanggo (menginjak tangga), acara ini sebagai tahap awal
bagi seorang wanita mengenal calon suaminya. Bila dirasa cocok, maka keluarga
kedua belah pihak akan berunding dan melaksanakan acara mamendekkan hetongan, yaitu keluarga perempuan akan bertandang
kembali ke rumah calon mempelai laki-laki (marapulai)
dan bermusyawarah.
Sebelum mamendekkan hetongan, orang tua anak daro akan
menyempaikan maksud mereka kepada mamak
tungganai (paman anak daro dari
pihak ibu yang paling tua). Biasanya mamak akan bertanya pada calon anak daro, apakah
benar-benar siap akan menikah, karena biaya baralek
(pesta) beserta isinya termasuk uang
japuik akan disiapkan oleh keluarga wanita. Bila keluarganya termasuk
sederhana, maka keluarga akan mempertimbangkan menjual harta pusako untuk membiayai pernikahan. Kemudian dalam acara
mamendekkan hetongan, kedua belah pihak akan dibicarakan tentang besarnya uang japuik dan berbagai persyaratan
lainnya.
Acara dilanjutkan dengan batimbang
tando (meminang). Pada hari itu keluarga perempuan akan mendatangi rumah
laki-laki membawa berbagai macam persyaratan yang telah dibicarakan sebelumnya.
Dalam acara ini calon mempelai laki-laki dan perempuan menerima tanda bahwa
mereka akan menikah. Bila acara ini sudah selesai, pembicaraan akan meningkat
pada masalah uang japuik, mahar, dan
hari pernikahan (baralek). Kemudian
acara dilanjutkan dengan pepatah petitih yang diwakili oleh kapalo mudo anak daro (pengantin
perempuan) dan kapalo mudo marapulai (pengantin
laki-laki). Kapalo mudo adalah
orang-orang yang mengerti tentang pepatah minang. Jalannya acara perkawinan
tergantung dari percakapan kapalo mudo ini.
Setelah acara batimbang
tando, maka acara dilanjutkan dengan menetapkan uang jemputan dan uang hilang.
Jika marapulai merupakan orang
keturunan bangsawan atau mempunyai gelar, maka nilai uang japuiknya akan tinggi. Sekarang nilai uang japuik ditentukan oleh tingkat pendidikan, pekerjaan dan
jabatan marapulai.(disarikan dari jurnal Depdikbud Dirjen Kebudayaan, balai kajian sejarah dan nilai tradisional padang 1999/2000 berjudul Pola Hubungan Kekerabatan Masyarakat Padang Pariaman Dalam Upacara Perkawinan. Halaman 29-59)
Besar uang japuik ditentukan
dalam uang upiah yang nilainya sama
dengan 30 ameh (emas), satu ameh setara dengan 2,5 gram emas. Semakin tinggi nilai uang japuik yang diberikan, menunjukkan
semakin tinggi status sosial marapulai. Pada
zaman sekarang, nilai uang jemputan bisa diganti dengan uang rupiah biasa,
hewan atau kendaraan. Besar uang japuik, bila orang biasa, misal profesinya tukang becak atau orang
biasa, dia dijemput dengan uang senilai Rp. 5.000.000, sedangkan bila ia adalah
sarjana, guru, dokter akan dijemput dengan uang senilai Rp.
35.000.000-Rp.50.000.000. belum lagi bila mereka juga mempunyai gelar dari
mamaknya, seperti sidi, bagindo atau sutan. (wawancara dengan Ibu Suhermita jum’at 23 Juni 2012),
Setelah uang japuik diberikan,
acara dilanjutkan dengan acara alek
randam (persiapan) dan malam bainai. Setelah
semua persiapan selesai, maka pada hari yang telah ditentukan maka keluarga anak daro yang terdiri dari mamak, ayah, kakak laki-laki akan
menjemput pengantin laki-laki (marapulai)
di rumahnya membawa pakaian pengantin serta persyaratan termasuk uang japuik. Sampai di rumah marapulai, telah menunggu keluarga marapulai, maka mamak anak daro akan membuka
percakapan dan diakhiri dengan membawa marapulai,
sedangkan uang japuik akan diserahkan
kepada ibu marapulai.
Marapulai pun dibawa ke tempat akad nikah. Setelah menikah, acara
dilanjutkan dengan pesta perkawinan (baralek).
Lalu dilanjutkan acara setelah perkawinan, setelah kedua pengantin bersanding
di rumah anak daro, maka dengan
berpakaian adat lengkap dan diiringi dengan kerabat, membawa makanan adat,
mereka mengunjungi rumah mertua (mintuo)
anak daro, acara ini disebut manjalang
mintuo. Pada acara ini lah uang
japuik akan dikembalikan dalam betuk perhiasan kepada anak daro yang teradang jumlahnya dilebihkan oleh ibu marapulai.
c. Sanksi dan Makna Uang Japuik
Bila ada perkawinan yang tak menyertakan uang japuik, maka
akan dikenai sanksi, terutama sanksi moral. Keluarga tersebut tentunya akan
mendapat cemooh dari sanak keluarga dan teman-temannya, terutama dari mamaknya. Lalu keduanya mungkin bisa tidak
jadi menikah, kemudian dicap tidak beradat dan akhirnya diusir dari kampungnya
karena dianggap tidak menghargai ninik mamak.
(wawancara dengan Bapak Herman Nofri Hossen, 2 April 2012).
Selama ini
orang-orang di luar suku pariaman dan orang pariaman yang tak tahu dengan
budayanya menganggap bahwa bila ingin menikahi laki-laki pariaman, maka harus
menjemputnya dengan sejumlah uang, bahkan ada yang megatakan dengan bahasa
kasar pria tersebut dibeli. Tentu anggapan itu membuat geram sejumlah tokoh
adat pariaman, namun memang anggapan tersebut telah tertanam di benak
masyarakat luas yang tak mengerti. Buku-buku yang menliskan tradisi bajapuik
pun tak ada yang menyanggah pendapat ini, datuk-datuk hanya diam karena
kebanyakan mereka diangkat sebagai datuk karena mempunyai uang atau untuk
mengangkat namanya saja, tak mengerti benar dengan adat dan tak memenuhi syarat
menjadi datuk. Padahal tradisi bajapuik
bertujuan mengangkat derajat pria di pariaman, mereka dijemput untuk
menghormati pria tersebut yang akan
menjadi anggota baru keluarga besar sang istri (urang sumando).