Sabtu, 05 Februari 2011

Suku Asmat

BAB I
PENDAHULUAN

1.1              LATAR BELAKANG

Irian jaya atau sekarang disebut dengan Papua adalah pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland. Pulau ini terbagi atas 2 daerah kekuasaan, yaitu di bagian timur adalah wilayah negara Papua New Guinea sedangkan daerah seluas 260.000 kilometer persegi yang berada di belahan barat, yaitu Papua termasuk daerah wilayah pemerintahan Republik Indonesia.

Pulau ini sebagian besar tertutup hutan lebat yang masih belum dieksploitasi. Di sinilah terdapat suku-suku promitif yang masih eksis , terlepas dari kondisi kehidupan yang keras dan pengaruh modernisasi. Berada di tengah hutan, ditengah-tengah suku terasing dari peradaban modern inilah, anda akan merasa kembali ke jaman peradaban megalitik, dimana masyarakatnya masih menggunakan alat-alat dari batu, taring atau tulang-tulang binatang sebagai perlengkapan hidup sehari-hari.
Suku Asmat adalah salah satu suku yang ada di Papua. Orang Asmat lebih maju dibanding suku-suku lain di tanah Papua. Mereka sering menjadi duta bagi Indonesia di mancanegara yang menunjukan kebolehannya. Populasi suku asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal cara hidup, struktur sosial dan ritual. selanjutnya terbagi kedalam dua bagian yaitu suku bisman yang berada di antara sungai sinesty dan sungai nin serta suku simai.
Secara umum, kondisi fisik anggota masyarakat Suku Asmat, berperawakan tegap, hidung mancung dengan warna kulit dan rambut hitam serta kelopak matanya bulat. Disamping itu, Suku Asmat termasuk ke dalam suku Polonesia, yang juga terdapat di New Zealand dan Papua Nugini.

Suku Asmat tinggal di daerah berawa-rawa di sepanjang pantai selatan Irian Jaya. Daerah ini dimanfaatkan sebagai sarana perhubungan. Penduduk Asmat diperkirakan sejumlah 40.000 jiwa hidup di dusun yang terpencar di sepanjang aliran sungai. Makanan pokok mereka adalah sagu. Mereka tinggal di rumah adat yang disebut Yeu. Nama Asmat sudah dikenal dunia sejak tahun 1904. Pada tahun ini James Cook dan anak buahnya berhasil menemukan suku Asmat dan berkomunikasi dengan mereka.Kejadian ini yang membuka jalan untuk diadakan penyelidikan selanjutnya di daerah Asmat. Pada penyelidikan-penyelidikan berikutnya Asmat menjadi terkenal dengan seni pahatnya atau keseniannya.
Asmat selalu diindentikan dengan patung ukiran atau pahatan tradisional. Hal ini disebabkan karena pahatan atau ukiran tradisional telah diekspose keluar oleh berbagai kalangan, baik pemerintah maupun swasta di Indonesia dalam bentuk festival budaya baik di Agast (ibukota kabupaten Asmat)maupun di Jayapura, Bali, Jogja dan Jakarta ataupun di luar negeri.
Selanjutnya akan dibahas lebih lanjut mengenai etnografi suku asmat. Tulisan etnografi ini membahas tentang tujuh unsur kebudayaan yang universal. Setelah sebelumnya menyaksikan film tentang kehidupan suku Asmat yang ditayangkan oleh Bapak Ali Imron, M. Hum selaku dosen mata kuliah Antropologi.


1.2 TUJUAN

Makalah ini dibuat betujuan sebagai berikut :
  1. Untuk mengetahui tentang etnografi suku Asmat beradasarkan tujuh unsur kebudayaan yang universal.
  2. Untuk lebih mengetahui perkembangan kebudayaan suku Asmat.
  3. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Antropologi.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 NAMA DAN BAHASA

2.1.1 Nama
Nama Asmat sudah dikenal dunia sejak tahun 1904. Tercatat pada tahun 1770 sebuah kapal yang dinahkodai James Cook mendarat di sebuh teluk di daerah Asmat. Tiba-tiba muncul puluhan perahu lesung panjang didayungi ratusan laki-laki berkulit gelap dengan wajah dan tubuh yang diolesi warna-warna merah, hitam, dan putih. Mereka ini menyerang dan berhasil melukai serta membunuh beberapa anak buah James Cook. Berabad-abad kemudian pada tepatnya tanggal 10 Oktober 1904, Kapal SS Flamingo mendarat di suatu teluk di pesisir barat daya Irian jaya. Terulang peristiwa yang dialami oleh James Cook dan anak buahnya pada saat dahulu. Mereka didatangi oleh ratusan pendayung perahu lesung panjang berkulit gelap tersebut. Namun, kali ini tidak terjadi kontak berdarah. Sebaliknya terjadi komunikasi yang menyenangkan di antara kedua pihak. Dengan menggunakan bahasa isyarat, mereka berhasil melakukan pertukaran barang.

Kejadian ini yang membuka jalan adanya penyelidikan selanjutnya di daerah Asmat. Sejak itu, orang mulai berdatangan ke daerah yang kemudian dikenal dengan daerah Asmat itu. Ekspedisi-ekspedisi yang pernah dilakukan di daerah ini antara lain ekspedisi yang dilakukan oleh seseorang berkebangsaan Belanda bernama Hendrik A. Lorentz pada tahun 1907 hingga 1909. Kemudian ekspedisi Inggris dipimpin oleh A.F.R Wollaston pada tahun 1912 sampai 1913.

Suku Asmat yang seminomad itu mengembara sampai jauh keluar daerahnya dan menimbulkan peperangan dengan penduduk daerah yang didatanginya. Untuk mengatasi kekacauan yang sering terjadi tersebut, Pemerintah Belanda pada waktu itu, melancarkan usaha-usaha dalam rangka mengurangi peperangan dan memulihkan ketertiban. Pada tahun 1938, didirikan suatu pos pemerintahan yang berlokasi di Agats. Namun terpaksa ditinggalkan ketika pecah perang dengan Jepang pada tahun 1942.
Selama perang itu berlangsung, hubungan dengan orang-orang Asmat tidak terjalin. Hubungan tetap dengan masyarakat Asmat terjalin kembali dengan didirikannya suatu pos polisi pada tahun 1953.

Mei 1963, daerah Irian Jaya resmi masuk menjadi wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Sejak saat itu pula, Pemerintah Indonesia melaksanakan usaha-usaha pembangunan di Irian Jaya termasuk daerah Asmat. Suku Asmat yang tersebar di pedalaman hutan-hutan dikumpulkan dan ditempatkan di perkampungan-perkampungan yang mudah dijangkau. Biasanya kampung-kampung tersebut didirikan di dekat pantai atau sepanjang tepi sungai. Dengan demikian hubungan langsung dengan Suku Asmat dapat berlangsung dengan baik. Dewasa ini, sekolah-sekolah, Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat), rumah sakit dan rumah-rumah ibadah telah banyak juga didirikan pemerintah dalam rangka menunjang pembangunan daerah dan masayarakat Asmat.
Asal usul  orang Asmat tercipta
Dari bahan-bahan yang dikumpulkan oleh Pastor Zegwaard, seorang misionaris Katolik berbangsa Belanda, orang-orang Asmat mempercayai bahwa mereka berasal dari Fumeripits (Sang Pencipta). Konon, Fumeripits terdampar di pantai dalam keadaan sekarat dan tidak sadarkan diri. Namun nyawanya diselamatkan oleh sekolompok burung sehingga ia kembali pulih. Kemudian ia hidup sendirian di sebeuah daerah yang baru. Karena kesepian, ia membangun sebuah rumah panjang yang diisi dengan patung-patung dari kayu hasil ukirannya sendiri. Namun ia masih merasa kesepian, kemudian ia membuat sebuah tifa yang ditabuhnya setiap hari.

Tiba-tiba, bergeraklah patung-patung kayu yang sudah dibuatnya tersebut mengikuti irama tifa yang dimainkan. Sungguh ajaib, patung-patung itu pun kemudian berubah menjadi wujud manusia yang hidup. Mereka menari-nari mengikuti irama tabuhan tifa dengan kedua kaku agak terbuka dan kedua lutut bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan.
Semenjak itu, Fumeripits terus mengembara dan di setiap daerah yang disinggahinya, ia membangun rumah panjang dan menciptakan manusia-manusia baru yang kemudian menjadi orang-orang Asmat seperti saat ini.
Suku Asmat adalah salah satu suku dari 315 suku asli/pribumi Tanah Papua yang hidup di dua wilayah, yakni (a)wilayah pesisir pantai selatan Papua atau di tepi sungai, kehidupan keseharian mereka suka mencari ikan, meramu (menokok sagu) dan berburu serta (b) di wilayah pedalaman yaitu masyarakat asmat yang hidup di daerah rawa-rawa dan sungai serta danau, mereka suka mencari ikan, nelayan, meramu(menokok sagu) dan namun tidak bercocok tanam. Barangkali karena tinggal di dua wilayah yang berbeda sehingga mereka memiliki perbedaan dialek bahasa, cara hidup, strata sosial dan pesta ritual.
Terlepas dari dua perbedaan di atas, suku Asmat sendiri sebenarnya terdiri dari dua belas sub suku, yakni: Joirat, Emari Ducur, Bismam, Becembub, Simai, Kenekap, Unir Siran, Unir Epmak, Safan, Armatak, Brasm dan Yupmakcain. Pembagian sub suku ini terjadi dalam lingkungan masyarakat Asmat sendiri akibat tempat tinggal, kiat menyikapi lingungan serta persebaran masing-masing kelompok masyarakat dalam suku Asmat.
Sedangkan kata Asmat itu sendiri bermakna manusia kayu atau pohon. Versi kedua mengenai makna kayu adalah masyarakat Asmat meyakini bahwa yang pertama kali muncul di permukaan bumi adalah pohon-pohonan. Pohon-pohon itu adalah ucu (beringin) dan pas (kayu besi), yang diyakini sebagai perwujudan dua mama tua yaitu Ucukamaraot (roh beringin) dan Paskomaraot (roh kayu besi). Barang kali keyakinan mistis inilah yang memberikan kesan bahwa ukiran atau pahatan kayu yang dibuat orang Asmat itu sangat ‘berjiwa’.




2.1.2        Bahasa
Bahasa-bahasa yang digunakan orang Asmat termasuk kelompok bahasa yang oleh para ahli linguistik disebut sebagai Language of the Southern Division, bahasa-bahasa bagian selatan Irian Jaya. Bahasa ini pernah dipelajari dan digolongkan oleh C.L Voorhoeve (1965) menjadi filum bahasa-bahasa Irian (Papua) Non-Melanesia.
Bahasa-bahasa tersebut dibedakan pula antara orang Asmat pantai atau hilir sungai dan Asmat hulu sungai. Lebih khusus lagi, oleh para ahli bahasa dibagi menjadi bahasa Asmat hilir sungai dibagi menjadi sub kelompok Pantai Barat Laut atau pantai Flamingo, seperti misalnya bahasa Kaniak, Bisman, Simay, dan Becembub dan sub kelompok Pantai Baratdaya atau Kasuarina, seperti misalnya bahasa Batia dan Sapan.Sedangkan Asmat hulu sungai dibagi menjadi sub kelompok Keenok dan Kaimok.

Berikut ini adalah beberapa kosakata yang digunakan oleh orang Asmat :


a) Kata benda

1. Gurita = mutir
2. Kaki = kamter
3. Jangkrik = oset
4. Tang = jokmen
5. burung = Warat
6. Katak = eco
7. Tombak = ocen
8. Pisang = usawic
9. Laut = jicemup
10. Suami = mo
 
b) Kata sifat
1. Besar = awut nucur
2. lebar = par
3. Panjang = Juruw
4. Basah = moco
5. Tua = akmat
6. Lembut = jico
7. Lama (waktu) = tari
8. Keras = fek
9. Kurus = foco cakamkaj
10. Sangat baik = akat cowak

c) Kata kerja
1. Memanjat (pohon) = ap temet
2. Berpikir = minaf
3. Menangis = moc
4. Meninggal = namir
5. Mencari = nimir
6. Tersesat (hutan) = nimus
7. Menari = niomitum
8. Berkelahi = owen
9. Menikah = ower
10. menyelam = niompuw


Orang-orang Asmat juga memiliki beberapa istilah khusus yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ini adalah beberapa istilah khusus yang ada di wilayah Asmat :

1. Aipmu ep = rumah bujang yang terbagi atas dua bagian utama yang menghadap ke udik
2. Aipmu sene = rumah bujang yang terbagi atas dua bagian utama yang menghadap ke hilir
3. Aipmu = bagian utama yang ada di tiap rumah bujang dan memiliki seorang kepala
4. Asmat-ow = manusia sejati
5. Bis = patung leluhur
6. Bivak = rumah di hutan yang berfungsi sebagai tempat tinggal sementara
7. Cemen = bagian terpenting pada patung bis
8. Cicemen = ukiran pada ujung perahu lesung panjang melambangkan anggota keluarga yang telah meninggal
9. Fumiripits = Sang pencipta
10. Iguana = sejenis kapal
11. Je = rumah panjang yang berfungsi sebagai rumah bujang
12. Je-ti = rumah bujang utama
13. Mbeter = membawa lari
14. Papis = saling tukar menukar istri
15. Persem = perkawinan yang terjadi akibat adanya hubungan rahasia antara seorang pemuda dan pemudi yang kemudian diakui sah oleh kedua orang tua masing-masing
16. Pomerem = emas kawin
17. Ti = kayu kuning
18. Tinis = perkawinan yang direncanakan
19. Wow-ipits = pemahat Asmat
20. Yerak = sejenis kayu


2.2 LOKASI

Daerah tempat tinggal suku bangsa asmat merupakan daerah dataran rendah yang berawa-rawa dan berlumpur, di daerah sepanjang pantai yang luas, tertutup oleh hutan rimba tropis didominasi pohon-pohon mangrove dan hutan sagu. Makin ke pedalaman hutan rimba yang padat menjadi makin jarang, dan berubah menjadi gerombolan-gerombolan hutan yang terpencar-pencar di daerah hulu sungai-sungai tempat tinggal orang asmat hulu.
Suku asmat berdiam di daerah-daerah yang sangat terpencil dan daerah tersebut masih merupakan alam yang ganas (liar). Mereka tinggal di pesisir barat daya papua. Mulanya, orang asmat ini tinggal di wilayah administratif kabupaten merauke, yang kemudian terbagi atas 4 kecamatan, yaitu sarwa-erma, agats, ats, dan pirimapun. Saat ini asmat telah masuk ke dalam kabupaten baru, yaitu kabupaten asmat. Kabupaten Asmat Terletak Pada  4 o - 7 o  Lintang Selatan dan 137 o - 141 o  Bujur Timur
Karakteristik wilayah kabupaten asmat memang unik. Dataran coklat lembek yang tertutup oleh jaring laba-laba sungai. Di bagian utara, kaki pegunungan jayawijaya tampak membentengi sebagian wilayah pecahan kabupaten merauke ini. Bagian barat dan selatan dikelilingi oleh laut arafuru. Semua wilayah tersebut dipayungi oleh hijaunya hutan rimba tropis. Itulah sekilas gambaran kabupaten asmat.
Kabupaten yang dihuni suku asmat ini hampir semua wilayahnya berada di tanah berawa. Hampir setiap hari hujan turun dengan curah 3.000-4.000 milimeter per tahun. Setiap hari juga pasang surut laut masuk ke wilayah ini. Tidak mengherankan jika permukaan tanah sangat lembek dan berlumpur. Tanah dengan kondisi seperti itu tidak mungkin dibuat jalan beraspal. Akhirnya, jalan hanya dibuat dari papan kayu yang ditumpuk di atas tanah lembek. Praktis tidak semua kendaraan bermotor bisa melalui jalan ini. Orang yang berjalan harus berhati-hati agar tidak terpeleset, terutama saat hujan.
Batas-batas geografi daerah tempat dimana suku asmat dahulu tinggal adalah sebagai berikut :  Sebelah utara dibatasi pegunungan dengan puncak-puncak bersalju abadi, sebelah selatan berbatasan dengan laut arafura, sebelah timur berbatasan dengan sungai asewetsy, sebelah barat berbatasan dengan sungai pomats. Pertemuan sungai pomats, undir (lorentz), dan asewetsy,bersama-sama kemudian menjadi satu dan mengalir ke dalam teluk flamingo. Di daerah hilir sungai asewetsy terletak agats, tempat kecamatan agats, salahs atu dari empat kecamatan yang membentang di wilayah asmat.
Batasan-batasan alamiah inilah yang melindungi orang-orang asmat dari serangan luar. Pada masa perang dunia II, daerah tersebut merupakan semacam daerah yang tak bertuan di antara wilayah kekuasaan tentara jepang di sebelah barat dan tentara australia di sebelah timur.
Sedangkan saat ini, tempat tinggal sebagian besar suku asmat, yaitu kabupaten asmat, mempunyai batas-batas geografis sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan kab. Jayawijaya dan yahukimo, sebelah selatan  berbatasan dengan kab. Boven digoel dan kab. Mappi, sebelah  barat berbatasan dengan kab.mappi dan laut arafuru dan sebelah timur  berbatasan dengan laut arafuru dan kab. Mimika
Suku asmat mendiami daerah dataran rendah yang berawa-rawa dan berlumpur, serta ditutupi dengan hutan tropis. Sungai-sungai yang mengalir di daerah ini tidak terhitung banyaknya, dan rata-rata berwarna gelap karena tertutup dengan lumpur. Daerah tersebut landai yang dimana dialiri oleh tidak kurang dari 10 sungai besar dan ratusan anak sungai. Sungai-sungai besar itu dapat dilayari kapal dengan bobot 1.000-2.000 ton samapi sejauh 50 kilometer ke hulu. Sejauh 20 kilometer ke hulu, air sungai-sungai itu masih terasa payau. Lingkungan alam di sekitarnya masih terpencil dan penuh dengan rawa-rawa berlumpur yang ditumbuhi pohon bakau, nipah, sagu, dan tumbuhan rawa lainnya. Perbedaan pasang dan surut mencapai 4-5 meter sehingga dapat dimanfaatkan untuk berlayar dari satu tempat ke tempat lain. Pada pasang surut, orang berperahu ke arah hilir atau pantai dan kembali ke hulu ketika pasang sedang naik.
Keadaan alam seperti itu disebabkan antara lain adalah karena curah hujan yang turun sebanyak 200 hari setiap tahunnya. Selain itu, perembesan air laut ke pedalaman menyebabkan tanahnya tidak dapat ditanami dengan jenis-jenis tanaman seperti pohon kelapa, bambu, pohon buah-buahan, dan jenis tanaman kebun seperti sayur-mayur, tomat, mentimun, dan sebagainya. Walaupun tanaman seperti itu ada, namun jumlahnya pun sedikit/ terbatas.
Namun demikian, daerah rawa-rawa berair payau dengan suhu udara minimal 21 derajat celcius dan maksimal 32 derajat celcius ini sangat kaya akan aneka jenis tanaman palem, hutan-hutan bakau, pohon-pohon sejenis kayu balsal, umbi-umbian, tanaman rambat, dan rotan.
Batu sangat langka di daerah-daerah lumpur berawa-rawa ini. Alat-alat batu yang ditemukan hanya berupa kapak, dan ini pun bukan buatan penduduk setempat melainkan didapatkan melalui perdagangan barter dengan penduduk yang tinggal di daerah dataran tinggi. Orang-orang asmat juga tidak mengenal besi. Selain itu, tidak juga ditemukan tanah liat pada daerah ini sehingga tidak mengenal barang-barang keramik. Oleh karena itu, orang-orang asmat biasa memasak makanannya di atas api terbuka.

2.3 DEMOGRAFI
Kabupaten asmat adalah kabupaten yang pemusatan penduduknya berada di pesisir pantai atau di pinggir sungai. Namun jumlah penduduk di daerah asmat tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan pada tahun 2000 ada kurang lebih 70.000 jiwa, 9.000 di antaranya bermukim di kecamatan pirimapun. Pertambahan penduduk sangat pesat, berkisar antara 28 samapi 84 jiwa setiap 1.000 orang. Dan pada tahun 2006, jumlah pnduduk di kabupaten asmat adalah 72.874 jiwa/km2.
Secara keseluruhan, angka kelahiran di pedalaman adalah 13 persen, di pesisir 9 persen. Angka kematian pun cukup tinggi, yaitu berksiar antara 21 sampai 45 jiwa tiap 1.000 orang. Pada jaman dahulu, rata-rata dua setengah persen kematian orang Asmat disebabkan oleh peperangan antar clan atau antar desa. Seiring berkembangnya jaman, saat ini penyebab kematian anak-anak dan bayi , terutama pada bulan-bulan pertama banyak disebabkan oleh pneumonia, diare, malaria, dan penyakit campak. Tragisnya pada kasus-kasus tertentu, si ibu berperan dalam mempercepat proses kematian karena kurangnya pengetahuan. Sebagai contoh seorang anak yang menderita diare, tidak diberi minum sehingga mengalami dehidrasi yang menyebabakan kematian pada akhirnya.

Perkampungan orang Asmat yang jumlahnya tidak kurang dari 120 buah tersebar dengan jarak yang saling berjauhan. Kampung mereka didirikan dengan pola memanjang di tepi-tepi sungai dan dibangun sedemikian rupa sehingga mudah mengamati musuh. Sedikitnya ada 3 kategori kampung bila dilihat dari jumlah warganya. Kampung besar, yang umumnya terletak di bagian tengah, dihuni oleh sekitar 500-1000 jiwa.
Kampung di daerah pantai, rata-rata dihuni oleh sekitar 100-500 jiwa. Kampung di bagian hulu sungai, jumlah warganya lebih kecil , berpenduduk sekitar 50-90 jiwa.
Biasanya di satu kampung dihuni kira-kira 100 sampai 1000 orang. Setiap kampung punya satu rumah bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah bujang dipakai untuk upacara adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri. Lalu, kira-kira ada 70.000 orang asmat hidup di indonesia. Mayoritas anak-anak asmat sedang bersekolah.
2.4    MATA PENCAHARIAN
Mata pencaharian hidup orang Asmat di daerah pantai adalah meramu sagu, berburu binatang kecil, (yang terbesar adalah babi hutan), dan mencari ikan di sungai, danau, maupun pinggir pantai. Mereka juga terkadang menanam buah-buahan dan tumbuhan akar-akaran. Kadang mereka juga dengan sengaja menanamnya di kebun-kebun ekcil yang sederhana berada di tengah-tengah hutan. Orang Asmat hulu yang tinggal di daerah yang tak ada pohon sagunya lagi, lebih menggantungkan hidupnya pada kebun-kebunnya
Orang-orang Asmat merasa dirinya bagian dari alam. Karena itulah mereka sangat menghormati dan menjaga alam sekitarnya bahkan, pohon di sekitar tempat hidup mereka dianggap menjadi gambaran dirinya. Batang pohon menggambarkan tangan. Buah menggambarkan kepala. Akar menggambarkan kaki.
Sehari-hari orang Asmat bekerja di lingkungan sekitarnya, terutama untuk mencari makan. Anak-anak harus membantu orangtuanya. Mereka mencari umbi, udang, kerang, kepiting, dan belalang untuk dimakan. Sementara itu para bapak menebang pohon sagu serta berburu binatang di hutan. Bahan makanan yang sudah terkumpul dimasak oleh para ibu. Selain punya tugas memasak, para ibu juga mempunyai tugas menjaring ikan di rawa-rawa.
Dahulu, orang Asmat hidup di hutan-hutan, menetap di suatu tempat untuk beberapa bulan, kemudian pidanh mencari tempat baru bila bahan makanan di sekitarnya sudah berkurang. Hidup di hutan berarti hidup bebas, maka hal inilah yang membuat mereka terkadang kembali ke hutan meninggalkan kampun yang telah disediakan.
Hari Senin mereka biasa berangkat ke hutan dan kembali ke kampung pada hari Sabtu. Sebagian besar waktu dilewati di hutan dengan mendirikan rumah besar, yang disebut dengan Bivak.
Dengan didirikannya perkampungan-perkampungan bagi orang-orang Asmat, maka kehidupan mereka yang seminomad itu mulai berubah. Biasanya, kampung yang satu berjauhan dengan kampung yang lain. Hal ini disebabkan adanya perasaan takut akan diserang musuh yang sudah tertanam di pikiran orang-orang Asmat. Populasi suatu kampung biasanya terdiri dari 100 hingga 1000 jiwa. Kampung-kampung tersebut terdiri dari beberapa rumah keluarga dan rumah bujang. Tiap-tiap kampung memiliki daerah sagu dan daerah ikan yang merupakan sumber makanan bagi seluruh warganya. Oleh karena itu, berburu dan menangkap ikan merupakan kesibukan pokok masyarakat Asmat.

Dalam masyarakat Asmat, kaum wanita yang bekerja mencari dan mengumpulkan bahan makan serta mengurus anak-anak. Kebiasaan ini sudah membudaya dalam kehidupan mereka karena kaum pria dahulunya sering disibukkan dengan berperang. Pada dasarnya, kegiatan kaum laki-laki terpusat di dalam rumah bujang yang dimana mereka berkumpul untuk mendengarkan ritual-ritual yang berhubungan dengan peperangan dahulu serta menceritakan dongeng para leluhur.
Perekonomian suku Asmat mulai dibangun oleh Belanda melalui cabang perusahaan Imex Lumber Trade Company, bekerja sama dengan organisasi-organisasi penyiaran Agama Katholik, Belanda dan Kristen Amerika. Adat istiadat penyuluhan dihapus oleh Pemerintah RI dan melarang lembaga Yew, diganti dengan Balai Desa.

Pembiayaan pembangunaan Irian jaya diperoleh dari bantuan melalui FUNDWI (Fund for the Development of West Irian). Peningkatan kesejahteraan suku Asmat terutama seni patung dan seni ukir, serta membina seniman asli (wow ipits) untuk meningkatkan kreativitasnya.
Sekarang, menurut Bupati Asmat Yuvensius A. Biakai, Orang-orang Asmat boleh dikatakan mudah mendapat uang. Mereka menjual hasil alam, seperti ikan, kepiting, pohon gaharu, dan sebagainya. Sayang, pohon gaharu yang harganya sangat mahal nyaris punah. Pemkab juga membantu masyarakat dengan membagi jaring (jala) dan speedboat untuk menangkap ikan. Subsidi pemerintah ini dimiliki secara kelompok. Yuvensius mengatakan, masyarakat terus-menerus di dorong untuk menabung. Saat pesta budaya berlangsung misalnya. Yuvensius berulang-ulang menghimbau masyarakat untuk menabung.
2.5    ORGANISASI SOSIAL
Kehidupan suku bangsa Asmat dulunya adalah Semi Nomad, namun sekarang sudah ditinggalkan. Mereka tinggal di pegunungan yang saling berjauhan karena perasaan takut diserang musuh. Rumah Bujang merupakan tempat semua kegiatan desa dan upacara adat terpusat.

Dasar organisasi sosial masyarakat suku bangsa Asmat adalah keluarga inti monogamy kadang-kadang poligini. Kesatuan keluarga yang lebih luas yaitu uxorilokal yakni pasangan pengantin sesudah menikah berada di rumah keluarga yang lebih luas, atau avunkulokal, yaitu pasangan pengantin setelah menikah akan bertempat tinggal di rumah istri dari keluarga ibu. Tysem adalah tempat orang Asmat melaksanakan kegiatan sehari-hari dan tempat menyimpan senjata maupun peralatan untuk berburu, menangkap ikan, menanam dan berkebun. Seorang ibu dewasa selalu harus mengalami upacara misiasi yang dilaksanakan di rumah terpusat keluarga klan yang disebut yew, yang merupakan rumah keramat, digunakan untuk melaksanakan berbagai upacara religi. Yew biasanya dikelilingi oleh 10 sampai 15 tysem.
Dalam kehidupan orang Asmat, peran kaum laki-laki dan perempuan adalah berbeda. Kaum laki-laki memiliki tugas menebang pohon dan membelah batangnya. Pekerjaan selanjutnya, seperti mulai dari menumbuk sampai mengolah sagu dilakukan oleh kaum perempuan. Secara umumnya, kaum perempuan yang bertugas melakukan pencarian bahan makanan dan menjaring ikan di laut atau di sungai. Sedangkan kaum laki-laki lebih sibuk dengan melakukan kegiatan perang antar clan atau antar kampung. Kegiatan kaum laki-laki juga lebih terpusat di rumah bujang.
2.5.1 Sistem Kekerabatan
Dasar kekerabatan masyarakat Asmat adalah keluarga inti monogami, atau kadang-kadang poligini, yang tinggal bersama-sama dalam rumah panggung (rumah keluarga) seluas 3 m x 5 m x 4 m yang sering disebut dengan tsyem. Walaupun demikian, ada kesatuan-kesatuan keluarga yang lebih besar, yaitu keluarga luas uxorilokal (keluarga yang sesudah menikah menempati rumah keluarga istri), atau avunkulokal (keluarga yang dudah menikah menempati rumah keluarga istri dari pihak ibu). Karena itu, keluarga-keluarga seperti itu, biasanya terdiri dari 1 keluarga inti senior dan 2-3 keluarga yunior atau 2 keluarga senior, apabila ada 2 saudara wanita tinggal dengan keluarga inti masing-masing dalam satu rumah. Jumlah anggota keluarga inti masyarakat Asmat biasanya terdiri dari 4-5 atau 8-10 orang.
2.5.2 Lembaga Pernikahan
Sistem kekerabatan orang Asmat yang mengenal sistem clan itu mengatur pernikahan berdasarkan prinsip pernikahan yang mengharuskan orang mencari jodoh di luar lingkungan sosialnya, seperti di luar lingkungan kerabat, golongan sosial, dan lingkungan pemukiman (adat eksogami clan). Garis keturunan ditarik secara patrilineal (garis keturunan pria), dengan adat menetap sesudah menikah yang virilokal. Adat virilokal adalah yang menentukan bahwa sepasang suami-istri diharuskan menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami. Dalam masyarakat Asmat, terjadi juga sistem pernikahan poligini yang disebabkan adanya pernikahan levirat. Pernikahan levirat adalah pernikahan antara seorang janda dengan saudara kandung bekas suaminya yang telah meninggal dunia berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pernikahan seorang anak dalam masyarakat Asmat, biasanya diatur oleh kedua orang tua kedua belah pihak, tanpa diketahui oleh sang anak. Peminangan biasanya dilakukan oleh pihak kerabat perempuan. Namun, dalam hal pencarian jodoh, mereka juga mengenal kawin lari, yang artinya seorang laki-laki melarikan gadis yang disenanginya. Kawin lari ini biasanya berakhir dengan pertikaian dan pembunuhan.
Perkawinan dalam masyarakat Asmat sebanyak lebih dari 25% adalah poligini, dan di antara perkawinan-perkawinan poligini itu hampir separuhnya adalah perkawinan yang telah diatur (perse tsyem).

2.5.3 Sistem Pemerintahan

Sistem Pemerintahan suku asmat lebih ditekankan kepada kemempuan dan kewibawaan seorang lelaki yang mempunyai tubuh perkasa dan memiliki pengalaman perang. Asmat ditentukan oleh senioritas seseorang.

a) Pemerintahan secara tradisional (struktur paroh masyarakat)
Di setiap kampung yang didirikan di wilayah masyarakat Asmat, terdapat satu rumah panjang yang merupakan semacam balai desa dimana para warga kampung berkumpul membicarakan masalah-masalah yang menyangkut kepentingan seluruh warga. Rumah panjang ini merupakan cerminan kehidupan mereka di masa lampau. Rumah panjang dauhulunya berfungsi sebagai rumah bujang, atau Je dalam bahasa Asmat, dimana kaum pria membicarakan dan merembukan penyerangan serta pengayauan kepala.
Rumah bujang terdiri 2 bagian utama yang tiap bagian dinamakan aipmu, yang dimana masing-masingnya dipimpin oleh kepala aipmu. Sedangkan kepemimpinan Je secara keseluruhan dipimpin oleh kepala Je. Kepala Je adalah orang yang diakui kekuasaannya berdasarkan kemampuan-kemampuan yang menonjol. Kedudukan kepala Je, tidak harus diberikan kepada orang yang paling tua, sehingga mungkin ada kekosongan pimpinan sebelum kepala baru terpilih.
Seringkali kepala Aipmu adalah kepala perang juga. Dia adalah orang yang mampu mengatur dan merencanakan strategi-strategi penyerangan secara besar-besaran dan meliputi satu kampung. Untuk dapat menggerakkan rakyatnya maka kekerasan merupakan sifat utama dan sifat itulah yang membantu dalam mempertahankan kekuasaannya. Kepala Aipmu dipilih berdasarkan kepribadian dan keberhasilannya. Umur juga merupakan faktor penting. Pada umumnya, orang-orang muda belum mempunyai bobot bila mereka belum berkeluarga dan membuktikan keberaniannya dalam berperang. Dalam hal-hal tertentu , peranan pimpinan adat dapat dijalankan orang-orang yang ahli dalam berbagai lapangan. Misalnya, ahli bidang keagamaan memimpin upacara keagamaan, ahli menyanyi dan menabuh tifa berperan dalam upacara adat, bahkan ahli kebatinan adakalanya memimpin suatu upacara. Ada ahli lain yang sering dianggap lebih terhormat dibandingkan para pemimpin lainnya oleh masyarakat Asmat, yaitu seniman pahat patung (wow-ipits).

b) Pemerintahan baru (non tradisional)
Berbeda degan pola tradisional, pola kepemimpinan dan kekuasaan saat ini tidak berada pada satu orang secara pribadi saja. Kepala desa, di dalam penyelenggaraan ketertiban hukum dibantu oleh beberapa orang pembantu. Kepala desa dan pembantu-pembantunya juga bertanggungjawab atas pemeliharaan kebersihan kampung, pemeliharaan jalan-jalan dan juga menjaga agar warga desa memelihara rumahnya dengan sebaik-baiknya.
Umumnya, jabatan kepala desa ini diserahkan kepada orang muda yang telah mendapat sedikit pendidikan dari misi agama pada akhir lima puluhan. Di dalam tuganya, ia dibantu oleh seorang asisten kepala desa yang biasanya adalah seorang yang sudah berumur dan dihormati oleh warga desa.
Di samping itu, terdapat seorang kepala distrik yang membawahi para ”polisi” desa yang mengatur hansip setempat. Kepala distrik inilah yang memutuskan hukuman apabila terjadi pelanggaran yang cukup serius. Tampak adanya suatu pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Di satu pihak, terdapat kepala desa beserta pembantu-pembantunya dan di pihak lain terdapat kepala distrik yang menangani pelangaran-pelanggaran khusus.
2.6    SISTEM RELIGI/KEPERCAYAAN
Suku Asmat adalah suku yang menganut Animisme, sampai dengan masuknya para Misionaris pembawa ajaran baru, maka mereka mulai mengenal agama lain selain agama nenek-moyang. Dan kini, masyarakat suku ini telah menganut berbagai macam agama, seperti Protestan, Khatolik bahkan Islam.

Ada beberapa simbol dan kepercayaan bagi suku Asmat, yaitu :
a.                   Simbol manusia dan burung pada perahu
Orang Asmat biasa membuat ukiran di ujung perahu yang digunakannya. Ukiran tersebut bersimbol manusia dan burung. Ukiran yang berbentuk manusia itu melambangkan keluarga yang sudah meninggal. Mereka percaya bahwa almarhum akan senang karena diperhatikan, dan kemanapun perahu dan penumpangnya pergi akan selalu dilindunginya. Ukiran burung dan binatang terbang lainnya dianggap melambangkan orang yang gagah berani dalam pertempuran dan lambang burung juga digunakan sebagai lambang pengayauan, terutama burung atau binatang terbang yang berwarna gelap atau hitam.
b. Hiasan
Untuk hiasan kepala, menggunakan simbol burung kasuari atau kuskus. Sekeliling matanya diwarnai merah bagaikan mata burung kakatua hitam bila sedang marah. Hiasan dahi yang terbuat dari kulit kuskus merupakan lambang dari si pengayau kepala yang perkasa.
c. Pohon
Orang Asmat menyebut dirinya Asmat-ow, yang berarti manusia pohon. Pohon merupakan benda yang amat luhur dalam pandangan orang Asmat. Dalam pandangan mereka, pohon adalah manusia dan manusia adalah pohon. Akar pohon melambangkan kaki manusia, batangnya adalah tubuh manusia, dahan-dahannya adalah tangan manusia, dan daun-daun adalah kepala manusia. Semua anggapan itu memiliki alasan yang mendasar. Keadaan lingkungan alam yang ganas, berawa-rawa dan berlumpur menyebabkan pohon atau kayu menjadi penting bagi kehidupan orang Asmat.
d.  Sagu
Sagu selain dijadikan bahan makan oleh masyarakat Asmat, sagu juga memilki arti khusus tersendiri bagi orang Asmat. Sagu diibaratkan sebagai wanita. Suatu kehidupan dipercaya oleh orang Asmat keluar dari pohon sagu sebagaimana kehidupan keluar dari rahim seorang ibu.
Selain itu, Suku Asmat juga mempunyai beberapa dongeng atau cerita rakyat :
a)                  Dongeng Fumeripits
Orang Asmat percaya bahwa mereka berasal dari Sang Pencipta (Fumeripits). Pada suatu masa, Fumeripits terdampar di pantai dalam keadaan sekarat dan tidak sadarkan diri. Namun nyawanya diselamatkan oleh sekolompok burung sehingga ia kembali pulih. Kemudian ia hidup sendirian di sebeuah daerah yang baru. Karena kesepian, ia membangun sebuah rumah panjang yang diisi dengan patung-patung dari kayu hasil ukirannya sendiri. Namun ia masih merasa kesepian, kemudian ia membuat sebuah tifa yang ditabuhnya setiap hari. Tiba-tiba, bergeraklah patung-patung kayu yang sudah dibuatnya tersebut mengikuti irama tifa yang dimainkan. Sungguh ajaib, patung-patung itu pun kemudian berubah menjadi wujud manusia yang hidup. Mereka menari-nari mengikuti irama tabuhan tifa dengan kedua kaku agak terbuka dan kedua lutut bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan. Semenjak itu, Fumeripits terus mengembara dan di setiap daerah yang disinggahinya, ia membangun rumah panjang dan menciptakan manusia-manusia baru yang kemudian menjadi orang-orang Asmat seperti saat ini. Semua itu ada di dalam dongeng suci Fumeripits.

b) Mitos pengayauan kepala
Awal mula pengayauan kepala orang dan kanibalisme di wilayah masyarakat Amat adalah berdasarkan dari mitos yang hidup di dalam masyarakat Asmat sendiri mengenai kakak beradik Desoipits dan Biwiripits. Desoipits mendesak adiknya, Biwiripits untuk memenggal kepalanya. Pada mulanya Biwiripits enggan, tetapi karena terus didesak, ia pun memenggal kepala Desoipits. Sungguh aneh, kepala Desoipits yang putus itu tetap hidup dan berbicara menuyuruh adiknya untuk memisahkan bagian-bagian dari tubuhnya, untuk dibagikan sebagai makanan kepada para pahlawan yang kembali perang. Sejak saat itu, munculah kebiasaan memakan daging dan memenggal kepala manusia. Tengkorak manusia pun dihormati dan disimpan, terutama tengkorak orang yang sanagt dicintai. Tengkorak saudara atau kerabat terdekat selalu digunakan sebagai bantal kepala ataupun kalung, sedangkan tengkorak musuh dipajang untuk memperlihatkan kebesaran dan keperkasaan atau juga penolak bala.

Suku Asmat juga mempercayai roh-roh atau makhluk halus dan kekuatan sihir, seperti :

a)                  Roh setan
Kehidupan orang-orang Asmat sangat terkait erat dengan alam sekitarnya. Mereka memiliki kepercayaan bahawa alam ini didiami oleh roh-roh, jin-jin, makhluk-makhluk halus, yang semuanya disebut dengan setan. Setan ini digolongkan ke dalam kategori :
1. Setan yang membahayakan hidup
Setan yang membahayakn hidup ini dipercaya oleh orang Asmat sebagai setan yang dapat mengancam nyawa dan jiwa seseorang. Seperti setan perempuan hamil yang telah meninggal atau setan yang hidup di pohon beringin, roh yang membawa penyakit dan bencana (Osbopan).
2. Setan yang tidak membahayakan hidup
Setan dalam kategori ini dianggap oleh masyarakat Asmat sebagai setan yang tidak membahayakan nyawa dan jiwa seseorang, hanya saja suka menakut-nakuti dan mengganggu saja.
Selain itu orang Asmat juga mengenal roh yang sifatnya baik terutama bagi keturunannya., yaitu berasal dari roh nenek moyang yang disebut sebagai yi-ow.

b) Kekuatan magis dan Ilmu sihir
Orang Asmat juga percaya akan adanya kekuatan-kekuatan magis yang kebanyakan adalah dalam bentuk tabu. Banyak hal-hal yang pantang dilakukan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, seperti dalam hal pengumpulan bahan makanan seperti sagu, penangkapan ikan, dan pemburuan binatang.
Kekuatan magis ini juga dapat digunakan untuk menemukan barang yang hilang, barang curian atau pun menunjukkan si pencuri barang tersebut. Ada juga yang mempergunakan kekuatan magis ini untuk menguasai alam dan mendatangkan angin, halilintar, hujan, dan topan.
Dalam Suku Asmat juga dikenal berbagai upacara atau ritua,l yakni :
a) Ritual Kematian
Dalam Film yang telah ditayangkan ada adegan tentang tata cara penguburan suku asmat. Namun orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah meninggal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang tidak mati dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang tersebut mati karena suatu sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang baru lahir yang kemudian mati pun dianggap hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih karena mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam roh-roh. Sebaliknya kematian orang dewasa mendatangkan duka cita yang amat mendalam bagi masyarakat Asmat.
Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul mendekati si sakit sambil menagis sebab mereka percaya ajal akan menjemputnya. Tidak ada usaha-usaha untuk menogbati atau memberi makan kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit tidak berani mendekatinya karena mereka percaya si sakit akan ”membawa” salah seorang dari yang dicintainya untuk menemani. Di sisi rumah dimana si sakit dibaringkan, dibuatkan semacam pagar dari dahan pohon nipah. Ketika diketahui bahwa si sakit meninggal maka ratapan dan tangisan menjadi-jadi.
Keluarga yang ditinggalkan segera berebut memeluk si sakit dan keluar rumah mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur.
Sementara itu, orang-orang di sekitar rumah kematian telah menutup semua lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk utama) dengan maksud menghalang-halangi masuknya roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat menjelang kematian. Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara menagis setiap hari sampai berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur dan mencukur habis rambutnya. Yang sudah menikah berjanji tidak akan menikah lagi (meski nantinya juga akan menikah lagi) dan menutupi kepala dan wajahnya dengan topi agar tidak menarik bagi orang lain.
Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman bambu), yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai busuk. Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan dipergunakan sebagai bantal petanda cinta kasih pada yang meninggal. Orang Asmat percaya bahwa roh-roh orang yang telah meninggal tersebut (bi) masih tetap berada di dalam kampung, terutama kalau orang itu diwujudkan dalam bentuk patung mbis, yaitu patung kayu yang tingginya 5-8 meter. Cara lain yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu lesung panjang dengan perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian dilepas di sungai dan seterusnya terbawa arus ke laut menuju peristirahatan terakhir roh-roh.
Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah mengubur jenazah dan beberapa barang milik pribadi yang meninggal. Umumnya, jenazah laki-laki dikubur tanpa menggunakan pakaian sedangkan jenazah wanita dikubur dengan menggunakan pakaian. Orang Asmat juga tidak memiliki pemakaman umum, maka jenazah biasanya dikubur di hutan, di pinngir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Dimanapun jenazah itu dikubur, keluarga tetap dapat menemukan kuburannya.
b) Upacara perahu lesung (tsyimbu)
Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat membuat perahu-perahu baru. Dalam proses pembuatan prahu hingga selesai, ada berapa hal yang perlu diperhatikan. Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap untuk diangkut ke pembuatan perahu. Sementara itu, tempat pegangan untuk menahan tali penarik dan tali kendali sudah dipersiapkan. Pantangan yang harus diperhatikan saat mngerjakan itu semua adalah tidak boleh membuat banyak bunyi-bunyian di sekitar tempa itu. Masyarakat Asmat percaya bahwa jika batang kayu itu diinjak sebelum ditarik ke air, maka batang itu akan bertambah berat sehingga tidak dapat dipindahkan.
Untuk menarik batang kayu, si pemilik perahu meminta bantuan kepada kerabatnya. Sebagian kecil akan mengemudi kayu di belakang dan selebihnya menarik kayu itu. Sebelumnya diadakan suatu upacara khusus yang dipimpin oleh seorang tua yang berpengaruh dalam masyarakat. Maksudnya adalah agar perahu itu nantinya akan berjalan seimbang dan lancar.
Perahu pun dicat dengan warna putih di bagian dalam dan di bagian luar berwarna merah berseling putih. Perahu juga diberi ukiran yang berbentuk keluarga yang telah meninggal atau berbentuk burung dan binatang lainnya. Setelah dicat, perahu dihias dengan daun sagu. Sebelum dipergunakan, semua perahu diresmikan terlebih dahulu. Pra pemilik perahu baru bersama dengan perahu masing-masing berkumpul di rumah orang yang paling berpengaruh di kampung tempat diadakannya pesta sambil mendengarkan nyanyi-nyanyian dan penabuhan tifa. Kemudian kembali ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan diri dalam perlombaan perahu. Para pendayung menghias diri dengan cat berwarna putih dan merah disertai bulu-bulu burung. Kaum anak-anak dan wanita bersorak-sorai memberikan semangat dan memeriahkan suasana. Namun, ada juga yang menangis mengenang saudaranya yang telah meninggal.
Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan dalam rangka persiapan suatu penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu-perahu ini dicoba menuju tempat musuh dengan maksud memanas-manasi mereka dan memancing suasana musuh agar siap berperang.

Sekarang, penggunaan perahu lebih terarahkan untuk pengangkutan bahan makanan.

c) Upacara patung nenek moyang (mbismbu)
Upacara bis merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan suku Asmat sebab berhubungan dengan pengukiran patung leluhur (bis) apabila ada permintaan dalam suatu keluarga. Dulu, upacara bis ini diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang telah mati terbunuh, dan kematian itu harus segera dibalas dengan membunuh anggota keluarga dari pihak yang membunuh.
Untuk membuat patung leleuhur atau saudara yang telah meninggal diperlukan kurang lebih 6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan di dalam rumah panjang (bujang) dan selama pembuatan patung berlangsung, kaum wanita tidak diperbolehkan memasuki rumah tersebut.
Dalam masa-masa pembuatan patung bis, biasanya terjadi tukar-menukar istri yang disebut dengan papis. Tindakan ini bermaksud untuk mempererat hubungan persahabatan yang sangat diperlukan pada saat tertentu, seperti peperangan. Pemilihan pasangan terjadi pada waktu upacara perang-perangan antara wanita dan pria yang diadakan tiap sore. Upacara perang-perangan ini bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat dan pada waktu ini, wanita berkesempatan untuk memukul pria yang dibencinya atau pernah menyakiti hatinya.
Sekarang ini, karena peperangan antar clan sudah tidak ada lagi, maka upacara bis ini baru dilakukan bila terjadi malapetaka di kampung atau apabila hasil pengumpulan bahan makanan tidak mencukupi. Menurut kepercayaan, hal ini disebabkan roh-roh keluarga yang telah meninggal yang belum diantar ke tempat perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di muara sungai Sirets.
Patung bis menggambarkna rupa dari anggota keluarga yang telah meninggal. Yang satu berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling utama berada di puncak bis. Setelah itu diberikan warna dan diberikan hiasan-hiasan. Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas suatu panggung yang dibangun di rumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang ditinggalkan akan mengatakan bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan dan mereka mengharapkan agar roh-roh yang telah meninggal itu berangkat ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka juga memohon agar keluarga yang ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan kesuburan. Biasanya, patung bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan di daerah sagu hingga rusak
d) Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (yentpokmbu)
Orang –orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah keluarga dan rumah bujang (je). Rumah bujang inilah yang amat penting bagi orang-orang Asmat. Rumah bujang ini dinamakan sesuai nama marga (keluarga) pemiliknya.
Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang bersifat religius maupun yang bersifat non religius. Suatu keluarga dapat tinggal di sana, namun apabila ada suatu penyerangan yang akan direncanakan atau upacara-upcara tertentu, wanita dan anak-anak dilarang masuk.

Orang-orang Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah bujang yang baru, yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang juga diikuti oleh beberapa orang dan upacara dilakukan dengan tari-tarian dan penabuhan tifa.
2.7             KESENIAN
Kesenian yang dimiliki oleh suku Asmat adalah sebagai berikut :
2.7.1 Seni ukir/ pahat
Asmat selalu diindentikan dengan patung ukiran atau pahatan tradisional. Hal ini disebabkan karena pahatan atau ukiran tradisional telah diekspose keluar oleh berbagai kalangan, baik pemerintah maupun swasta di Indonesia dalam bentuk festival budaya baik di Agast maupun di Jayapura, Bali, Jogja dan Jakarta ataupun di luar negeri.

Berawal dari latar belakang cerita legenda Fumeripits yaitu seorang yang pandai mengukir dan memahat yang kemudian merupakan pencipta cikal bakal manusia suku Asmat. Oleh latar belakang legenda tersebut, suku Asmat mempunyai kebudayaan mengukir yang konon diturunkan oleh Fumeripits. Suku Asmat menganut animisme yaitu kepercayaan terhadap roh-roh yang mendiami sekalian benda (pohon, batu dan sebagainya). Walaupun pada saat ini agama kristen telah masuk ke papua dan animisme sudah banyak ditinggalkan pengikut-pengikutnya, kegiatan yang berhubungan dengan animisme masih dilakukan. Hal ini terlihat pada kehidupan suku Asmat yang masih melakukan pembuatan patung-patung leluhur mereka dalam kehidupan adat istiadatnya guna menghormati nenek moyangnya. Ukiran Asmat sudah cukup dikenal didunia. Mulai dari perisai, patung Mbis, gendang, perahu lesung dan lain-lain. Dapat dikatakan juga bahwa ukiran Asmat lahir dari upacara adat.
Aneka warna gaya kesenian Asmat berdasarkan bentuk dan warna dapat diklasifikasikan ke dalam 4 daerah :
a. Gaya seni Asmat hilir maupun hulu sungai-sungai yang mengalir ke dalam Teluk Flamingo dan arah pantai Casuarina (Central Asmat)
Benda seni yang termasuk dalam golongan ini, telah terkenal sejak jaman ekspedisi militer Belanda pada tahun 1912. Ciri-ciri perisai dalam golongan ini adalah berbentuk persegi panjang dan agak menyempit ujungnya. Di ujung atas ada hiasan ukiran phallus atau gambar burung tanduk atau topeng. Motif-motif ukiran dalam golongan ini juga terdiri dari motif burung kakatua, burung kasuari, kepala ular, kaki kepiting, dll.

Hiasan ukiran simbolis ini juga terdapat di ujung perahu lesung, di bagian belakang perahu, datung perahu, dinding tifa, ujung tombak, ujung panah, dll.

b. Gaya Seni Asmat Barat Laut (Northwest Asmat)
Perisai pada golongan ini berbentuk lonjong dengan bagian bawah yang agak melebar dan biasanya lebih padat dari pada perisai-perisai lainnya. Bagian kepala terpisah dengan jelas dari bagian lainnya dan berbenruk kepala kura-kura atau ikan. Kadang-kadang ada gambar nenek moyang di bagian kepal, sedangkan hiasan bagian badan berbentuk musang terbang, katak, kepala burung tanduk, ualr, dll.

c. Gaya seni Asmat Timur (Citak)
Kekhususan seni pada golongan ini tampak pada bentuk hiasan perisai yang biasanya berukuran sangat besar, kadang-kadang sampai melebihi tinggi orang Asmat yang berdiri tegak. Bagian-bagian atasnya tidak terpisah secara jelas dari bagian badan perisai dan sering terisi dengan garis-garis hitam atau merah yang diberi titik-titik putih.

d. Gaya seni Asmat daerah sungai Brazza
Perisai pada golongan ini hampir sama besar dan tinggi dengan perisai pada golongan Asmat Timur. Bagian kepala juga biasanya terpisah dari bagian badannya. Walaupun motif sikulengan sering dipakai untuk hiasan perisai, motif yang biasa digunakan adalah motif geometri, lingkaran, spiral, siku-siku, dll.

2.7.2 Seni musik
Orang Asmat memiliki alat musik khusus yang biasa digunakan dalam upacara-upacara penting. Tifa adalah alat musik yang paling umum digunakan oleh masyarakat Asmat dalam kehidupannya. Tifa-tifa ini biasa diukir dan dipahat oleh wow-ipits setempat.

2.7.3 Seni tari
Orang-orang Asmat kerapkali melakukan gerakan-gerakan tarian tertentu saat upacara sakral berlangsung. Adanya gerakan-gerakan erotis dan dinamis yang dilakukan oleh kaum laki-laki dan perempuan di depan rumah bujang (Je) dalam rangka upacara Mbis.

2.8  SISTEM PENGETAHUAN
Orang Asmat mempunyai pengetahuan tentang lingkungan tempat tinggalnya. sebagai contoh, Orang Asmat berdiam di lingkungan alam terpencil dan ganas dengan rawa-rawa berlumpur yang ditumbuhi pohon bakau, nipah, sagu dan lainnya. Perbedaan pasang dan surut mencapai 4-5 meter. Pengetahuan itu dimanfaatkan oleh orang Asmat untuk berlayar dari satu tempat ke tempat lain. Pada waktu pasang surut, orang berperahu ke arah hilir atau pantai dan kembali ke hulu ketika pasang sedang naik.
Orang Asmat juga mempunyai pengetahuan mengenai alam flora dan fauna di daerah tempat tinggal. Misalnya, Pohon sagu banyak tumbuh di daerah dimana orang Asmat tinggal. Oleh karena itu, makanan pokok orang Asmat adalah sagu dengan makanan tambahan seperti ubi-ubian dan berbagai jenis daun-daunan. Mereka juga memakan berbagai jenis binatang seperti, ulat sagu, tikus hutan, kuskus, babi hutan, burung, telur ayam hutan, dan ikan. Sagu diibaratkan sebagai wanita. Kehidupan dianggap keluar dari pohon sagu sebagaimana kehidupan keluar dari rahim ibu. Selain itu, gigi-gigi anjing yang telah mati biasa digunakan sebagai perhiasan.
Orang-orang Asmat hanya mengenal 3 warna dalam kehidupannya, yaitu warna merah, putih, dan hitam. Warna merah didapatkan dari campuran tanah merah dengan air. Untuk warna putih, orang Asmat membakar semacam kerang yang kemudian ditumbuk dan dicampur dengan air. Sedangkan warna hitam diperoleh dengan cara mencampurkan arang dengan air. Ketiga warna ini biasa terlihat pada hasil ukiran dan juga cara berhias yang dilakukan oleh orang-orang Asmat.
Tempat tinggal suku Asmat yang berada di daerah dataran rendah membuat mereka perlu mengatasi kesulitan di dalam kehidupannya. Seperti misalnya batu sangat langka di daerah-daerah lumpur berawa-rawa tempat dimana suku Asmat tinggal. Oleh karena itu, mereka telah mengatahui kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh masyarakat merekas sendiri maupun masyarakat di luar daerahnya. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, suku Asmat telah mengenal sistem barter. Mereka telah biasa melakukan barter dengan masyarakat lain yang tinggal di daerah dataran tinggi untuk mendapatkan alat-alatseperti kapak, batu, dsb yang memudahkan mereka dalam kehidupannya.
Untuk memeperoleh bahan makanan di hutan, orang-orang Asmat pun berangkat pergi pada hari Senin dan kembali ke kampung pada hari Sabtu. Selama di hutan, mereka tinggal di rumah sementara yang bernama bivak.
Apabila orang-orang Asmat ingin mengambil air minum, maka air minum diambil pada saat air surut, sewaktu air sungai tidak terlalu asin. Air tersebut disimpan dalam tabung bambu yang diperoleh dari hasil penukaran dengan penduduk desa di lereng-lereng gunung.
Sekarang Suku Asmat tak lagi merupakan suku primitif. Minimal pendidikan orang Asmat setarf SMU. Banyak pula pemuda-pemuda Asmat yang menimba ilmu di luar tempat tinggal mereka. Untuk meningkatkan mutu pendidikan, menurut Bupati Asmat Yuvensius A. Biakai, selain membenahi sekolah-sekolah dasar dan menengah yang sudah ada, Pemkab akan mendirikan sekolah menengah atas unggulan di Distrik Sawa-Erma. Peningkatan mutu pendidikan, diakui Yuvensius, sebagai salah satu strategi membentuk orang-orang Asmat agar mampu bersikap kritis dan selektif terhadap segala arus budaya lain yang masuk ke Asmat.

2.9 PERALATAN HIDUP
Orang Asmat telah memiliki peralatan serta cara untuk mempertahankan hidupnya. Mereka telah memiliki kemampuan untuk membuat jaring sendiri yang terbuat dari anyaman daun sagu. Jaring tersebut digunakan untuk menjaring ikan di muara sungai. Caranya pun sederhana sekali, yaitu dengan melemparkan jaring tersebut ke laut untuk kemudian ditarik bersama-sama. Pekerjaan ini tidaklah mudah karena di muara sungai terdapat lumpur yang sangat banyak dan memberatkan dalam penarikan jaring. Oleh karena itu, jala ditambatkan saja pada waktu air pasang dan kemudian ditarik pada air surut.
Untuk membuat suatu karya kesenian, orang Asmat juga mengenal alat-alat tertentu yang memang sengaja digunakan untuk membuat ukir-ukiran. Alat-alat sederhana seperti kapak batu, gigi binatang dan kulit siput yang bisa digunakan oleh wow-ipits untuk mengukir. Kapak batu merupakan benda yang sangat berharga bagi orang Asmat sehingga kapak yang hanya bisa didapatkan melalui pertukaran barang itu diberi nama sesuai dengan nama leluhurnya, bisanya nama nenek dari pihak ibu. Dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat sekarang sudah menggunakan kapak besi dan pahat besi. Kulit siput diganti dengan pisau. Untuk menghaluskan dan memotong masih digunakan kulit siput.

2.9.1 Persenjataan
Perisai digunakan oleh orang Asmat untuk melindungi diri dari tombak dan panah musuh dalam peperangan. Pola ukiran pada perisai melambangkan kejantanan. Senjata ini terbuat dari akar besar pohon bakau atau kayu yang lunak dan ringan.
Tombak pada masyarakat Asmat terbuat dari kayu keras seperti kayu besi atau kulit pohon sagu. Ujungya yang tajam dilengkapi dengan penutup yang terbuat dari paruh burung atau kuku burung kasuari.

2.9.2 Makanan
Orang-orang Asmat tidak mengenal besi. Selain itu, tidak juga ditemukan tanah liat pada daerah ini sehingga tidak mengenal barang-barang keramik. Oleh karena itu, orang-orang Asmat biasa memasak makanannya di atas api terbuka. Berapa jenis makanan yang biasa dikonsumsi oleh orang Asmat adalah :

a) Makanan pokok (sagu)
Sagu sebagai makan pokok dapat banyak ditemukan di hutan oleh masyarakat Asmat. Untuk mendapatkan makanan dari pohon sagu, pohon itu harus ditebang, kulitnya dibuka sebagian, dan isinya ditumbuk hingga hancur. Kemudian, isi tersebut dipindahkan ke dalam suatu saluran air sederhana yang terbuat dari daun sagu untuk dibersihkan. Tepung sagu yang diperoleh diolah menjadi adonan yang beratnya kira-kira 5 kilogram. Adonan ini kemudian dibakar untuk mendapatkan bentuk yang semipadat supaya mudah dibawa dan disimpan sampai diperlukan.
Proses pembuatan sagu, mulai dari penebangan pohon hingga terbentuknya adonan siap masak memakan waktu sehari penuh, dari matahari terbit hingga terbenam.

b) Makanan tambahan
Sebagai makanan tambahan, suku Asmat juga mengumpulkan ulat sagu yang didapatkan di dalam batang pohon sagu yang sudah membusuk. Ulat sagu yang merupakan sumber protein dan lemak adalah makanan yang lezat dan bernilai tinggi bagi mereka. Telur-telur ayam hutan yang ditemukan di pasir delata-delta yang sering tertutup air pada waktu air pasang juga dikumpulkan. Telur-telur ini dikumpulkan dan dibungkus dakan daun dan dipanggang hingga keras. Apapun yang ditemukan di hutan, seperti babi hutan, kuskus, burung, dan segala jenis daun-daunan yang dapat dimakan, dikumpulkan sebagai tambahan makanan pedamping sagu.
Orang Asmat juga memburu iguana (sejenis kadal) untuk mengambil dagingnya yang kemudian dipanggang dan dimakan. Tikus hutan pun mereka tangkap dan dijadikan makanan tambahan.
c) Makanan lainnya
Orang Asmat pun terkadang memiliki bahan makan lainnya yang tidak setiap harinya ada. Musuh yang telah mati ditombak saat perang, dibawa pulang ke kampung dengan perahu lesung panjang diiringi dengan nyanyian. Setiba di kampung, mayatnya dipotong-potong dan dibagi-bagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Sambil menyanyikan lagu kematian, kepala musuh tersebut dipotong dan dipanggang, sedangkan otaknya dibungkus dengan daun sagu untuk kemudian dipanggang.
2.9.3 Perhiasan
Orang Asmat juga memiliki beberapa jenis perhiasan yang biasa dikenakan sehari-hari dalam kehidupannya. Seperti kebanyakan orang, orang Asmat berhias untuk mempercantik dirinya masing-masing. Sesuai kepercayaan, mereka biasa berhias dengan menidentikan diri seperti burung. Seperti misalnya titik-titik putih pada tubuh yang diidentikan pada burung.
Untuk hiasan kepala, mereka menggunakan bulu dari burung kasuari atau kuskus. Sekeliling matanya diwarnai merah bagaikan mata burung kakatua hitam bila sedang marah.
Hiasan dahi terbuat dari kulit kuskus, lambang dari si pengayau kepala yang perkasa. Hiasan-hiasan hidung terbuat dari semacam keong laut, atau kadang-kadang terbuat dari tulang manusia atau tulang babi.
Anting-anting wanita terbuat dari bulu kuskus. Gigi-gigi anjing diuntai untuk dijadikan kalung penghias leher. Untuk mendapatkan gigi-gigi itu, anjing tersebut tidaklah dibunuh, namun ditunggu hingga anjing tersebut mati. Oleh karena itu, gigi-gigi anjing tersebut dinilai tinggi bagi mereka, dan sering dijadikan sebagai emas kawin (pomerem) bagi keluarga pihak wanita.
2.9.4 Tempat Berlindung Dan Perumahan
Menurut tradisi orang Asmat, dalam sebuah kampung terdapat 2 macam bangunan, yaitu rumah bujang dan rumah keluarga. Rumah bujang (je) ditempati oleh pemuda-pemuda yang belum menikah dan tidak boleh dimasuki oleh kaum wanita dan anak-anak. Rumah yang terdiri dari satu ruangan ini dibangun di atas tiang-tiang kayu dengan panjang 30-60 meter dan lebar sekitar 10 meter. Rumah ini biasa digunakan untuk merencanakan suatu pesta, perang, dan perdamaian. Pada waktu senggang, rumah ini digunakan untuk menceritakan dongeng-dongeng suci para leluhur. Setiap clan memiliki rumah bujang sendiri.
Sedangkan rumah keluarga, biasanya didiami oleh satu keluarga inti yang terdiri dari seorang ayah, seorang atau beberpa istri, dan anak-anaknya. Setiap istri memiliki dapur, pintu, dan tangga sendiri. Lima tahun sekali, rumah-rumah tersebut diperbaharui oleh kaum pria. Perumahan yang dibangun menyerupai rumah panggung, kira-kira satu setengah meter dari atas tanah. Atap rumah terbuat dari anyaman daun sagu, gaba-gaba sagu membentuk dinding rumah, dan lantai tertutupi tikar yang terbuat dari daun sagu juga.
Kemudian, di hutan orang Asmat biasa mendirikan semacam rumah besar, bernama bivak. Bivak merupakan tempat tinggal sementara bagi orang Asmat disaat mereka mencari bahan makanan di hutan.

2.9.5
Alat musik
Alat musik yang biasa digunakan oleh orang Asmat adalah tifa yang terbuat dari selonjor batang kayu yang dilobangi. Pahatan tifa berbentuk pola leluhur atau binatang yang dikeramatkan. Pada bagian atas dibungkus dengan kulit kadal dan kulit tersebut diikat dengan rotan yang tahan api. Tifa biasanya diberi nama sesuai dengan orang yang telah meninggal.

2.9.6 Alat transportasi dan perlengkapannya
Masyarakat Asmat mengenal perahu lesung sebagai alat transportasinya. Pembuatan perahu dahulunya digunakan untuk persiapan suatu penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu tersebut dicoba menuju ke tempat musuh dengan maksud memanas-manasi musuh dan memancing suasana musuh agar siap berperang. Selain itu, perahu lesung juga digunakan untuk keperluan pengangkutan dan pencarian bahan makanan.
Setiap 5 tahun sekali, orang-orang Asmat membuat perahu-perahu baru. Walaupun daerah Asmat kaya akan berbagai jenis kayu, namun pembuatan perahu mereka memilih jenis kayu khusus yang jumlahnya tidak begitu banyak. Yang digunakan adalah kayu kuning (ti), ketapang, bitanggur atau sejenis kayu susu yang disebut yerak.
Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap dibawa ke tempat pembuatan perahu. Untuk membuat perahu dibutuhkan waktu kurang lebih 5 minggu. Proses pembuatan perahu dari bentuk batang hingga selesai diukir dan dicat meliputi beberapa tahap. Pertama, batang yang masih kasar dan bengkok diluruskan. Setelah bagian dalam digali, dihaluskan dengan kulit siput, sama halnya dengan bagian luar. Bagian bawah perahu dibakar supaya perahu menjadi ringan dan laju jalannya. Bagian muka perahu disebut cicemen, diukir menyerupai burung atau binatang lainnya perlambang pengayauan kepala. Atau ukiran manusia yang melambangkan saudara yang telah meninggal. Perahu kemudian dinamakan sesuai dengan nama saudara yang telah meninggal itu. Panjang perahu mencapai 15-20 meter. Setelah semua ukiran dibuat di perahu maka perahu pun di cat. Bagian dalam dicat putih, bagian luar dicat putih dan merah. Setelah itu perahu dihiasi dengan dahun sagu. Sebelum dipergunakan, semua perahu harus diresmikan melalui upacara.
Ada 2 macam perahu yang biasa digunakan, yaitu perahu milik keluarga yang tidak terlalu besar dan memuat 2-5 orang dengan panjang 4-7 meter. Sedangkan perahu clan biasa memuat antara 20-20 orang dengan panjang 10-20 meter.
Dayung terbuat dari kayu yang tahan lama, misalnya kayu besi. Karena dipakai sambil berdiri, maka dayung orang Asmat sangat panjang ukurannya. Benda ini wajib dimiliki oleh setiap orang Asmat karena daerah tempat tinggal banyak dikelilingi dengan rawa-rawa.
Sekarang, kendaraan yang umum dipakai oleh masyarakat adalah speedboat ataupun longboat dengan mesin motor. Masih ada masyarakat lokal yang mengendarai kole-kole (sampan kayu dengan dayung panjang) untuk dapat pergi dari satu kampung ke kampung lainnya atau menuju ke hutan untuk mencari sagu ataupun gaharu.
Karena wilayah papua yang sangat terjal dan kawasan pegunungan, maka digunakan lah teransportasi udara. Namun, transportasi udara sangat mahal dan terbatas. Hanya Distrik Agats dan Pantai Kasuari yang terjangkau transportasi udara. Agats mempunyai lapangan terbang dengan landasan 600 x 20 meter menggunakan permukaan landasan tikar baja. Bandara Ewer ini bisa didarati pesawat twin otter Merpati dan Mimika Air dengan rute Jayapura, Timika, Agats. Sedangkan bandara di Pantai Kasuari permukaan landasannya tanah pasir dan batu dan hanya didarati pesawat Merpati rute Merauke-Pantai Kasuari. Intensitas penerbangan menuju Agats dan Pantai Kasuari seminggu dua sampai tiga kali. Namun, ongkos perjalanan sekitar Rp 800.000 dirasa sangat mahal bagi masyarakat setempat.
2.10 PERUBAHAN/PERKEMBANGAN
Cukup banyak perubahan yang terjadi dalam kehidupan Suku Asmat. Perubahan tersebut telah dijelaskan pula pada penjabaran diatas. Misalnya perubahan sistem transportasi suku Asmta, yang dulu berupa perahu untuk menyusuri sungai, sekarang mereka menggunakan perahu mesin bahkan pesawat terbang untuk berpindah ketempat lainnya. selain itu, tingkat pengetahuan peduduk suku asmat juga tak kalah dibandingkan kota lainnya. kebanyakan suku asmat telah mengenyam pendidikan minimal setingkat SMU, dan banyak pula yang menuntut ilmu ke luar Papua. tempat tinggal sebagian beasr suku Asmat yang dulu hidup dalm pedalaman, telah dirangkai menjadi sebuah kabupaten yaitu kabupaten Asmat. fdan masih banyak pula perubahan dalam suku Asmta yang telah dijabarkan di atas.


Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Suku Asmat adalah salah satu suku asli indonesia yng mendiami wilayah papua. Suku ini terkenal akan kerajinan seni ukirnya yang telah kenal sampai ke luar negeri. Kini orang-orang asmat sebagian besar tinggal di kabupaten Asmat. Sangat banyak perubahan-perubahan yang telah terjadi dalam suku asmat, yang dahulunya adalah suku primitif, namun sekarang telah tersentuh budaya modern.suku asmat sangat kaya akan kebudayaannya. Hal ini eliputi sistem religinya, keseniannya, peralatan hidup, sistem pengetahuannya, yang sangat menarik untuk dibahas.



3.2 Saran
Semoga karya seni dan budaya suku Asmat tetap lestari sampai nanti dan tetap menjadi kekayaan indonesia. Semoga budaya suku Asmat tidak di klaim oleh negara lain seperti kebudayaan Indonesia yang lainnya.

Semoga tulisan etnografi ini dapat menambah wawadsan ilmu pengetahuan bagi yang membacanya. Untuk pembuatan karya etnografi selanjutnya, diharapakan dapat melengkapi tulisan etnografi tentang suku asmat lebih lengkap lagi.